DOA UNTUK MAYIT (TAHLILAN/YASINAN/HAUL)
Pandangan Mazhab Ahlussunnah Waljamaah terhadap suatu
amalan baru
Mazhab Ahlussunnah Waljama’ah merupakan
akumulasi pemikiran keagamaan dalam berbagai bidang yang dihasilkan para ulama
untuk menjawab persoalan yang muncul pada zaman tertentu
ASWAJA mengadakan penelitian yang
cermat terhadap masalah tersebut dengan menyandarkan kepada:
1. Al‐Qur’an
2. Al Hadist (sunnah)
3. Al‐Ijma’
4. Al‐Qiyas
Al‐Qur’an
Al‐Qur’an merupakan sumber utama dan
pertama dalam pengambilan hukum. Karena Al‐Qur’an adalah perkataan Allah yang
merupakan petunjuk kepada ummat manusia dan diwajibkan untuk berpegangan kepada
Al‐Qur’an.
Al‐Hadits/Sunnah
Sumber kedua dalam menentukan
hukum ialah sunnah Rasulullah SAW. Karena Rasulullah saw. Adalah insan yang
paling berhak menjelaskan dan menafsirkan Al‐Qur’an, maka As‐Sunnah Rasulullah saw. menduduki
tempat kedua setelah Al‐Qur’an.
Al‐Ijma’
Yang disebut Ijma’ ialah
kesepakatan para Ulama’ atas suatu hukum setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW.
Karena pada masa hidupnya Nabi Muhammad SAW seluruh persoalan hukum kembali
kepada Beliau. Setelah wafatnya Nabi maka hukum dikembalikan kepada para
sahabatnya dan para Mujtahid.
Kemudian ijma’ ada 2 macam :
1. Ijma’ Bayani ialah
apabila semua Mujtahid mengeluarkan pendapatnya baik berbentuk perkataan maupun
tulisan yang menunjukan kesepakatannya.
2. Ijma’ Sukuti ialah
apabila sebagian Mujtahid mengeluarkan pendapatnya dan sebagian yang lain diam,
sedang diamnya menunjukan setuju, bukan karena takut atau malu.
Contoh untuk Ijma’ Sukuti adalah
di adakannya adzan dua kali untuk sholat Jum’at, yang di prakarsai oleh sahabat
Ustman bin Affan r.a. pada masa kekhalifahan beliau. Para sahabat lainnya tidak
ada yang memprotes atau menolak ijma’ Beliau r.a. tersebut dan diamnya para
sahabat lainnya adalah tanda menerimanya mereka atas prakarsa tersebut.
Al‐Qiyas
Qiyas menurut bahasanya berarti
mengukur, secara etimologi kata itu berasal dari kata Qasa. Yang disebut Qiyas
ialah menyamakan sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam hukum karena adanya
sebab yang antara keduanya.
Rukun Qiyas ada 4 macam:
1. al‐ashlu,
2. al‐far’u,
3. al‐hukmu dan
4. as‐sabab.
Contoh penggunaan qiyas:
misalnya gandum, seperti
disebutkan dalam suatu hadits sebagai yang pokok (al‐ashlu)‐nya, lalu al‐far’u‐nya adalah beras (tidak tercantum
dalam al‐Qur’an dan al‐Hadits), al‐hukmu, atau hukum gandum itu wajib
zakatnya, as‐sabab
atau alasan hukumnya karena makanan pokok.
Ke empat sumber hukum diatas (Al
Qur’an, Sunnah, ijma’ dan Qiyas) telah disepakai secara bulat oleh para Imam
pendiri mazhab, antara lain Al Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan
Imam Ahmad bin Hanbal.
Madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah mempergunakan Ijma’ dan Qiyas kalau
tidak mendapatkan dalil nash yang shahih (jelas) dari Al‐Qur’an dan As‐Sunnah. Kita tidak dapat
menghalalkan sesuatu atau mengharamkan sesuatu, kecuali dengan dalil‐dalil yang jelas berdasarkan ke
empat sumber hukum di atas.
Janganlah kita mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah SWT dan Rasul‐Nya, dan jangan pula menghalalkan
apa yang diharamkan Allah SWT dan Rasul‐Nya. Di dalam Ilmu Fiqih apabila
kita melihat suatu perbuatan di tengah‐tengah masyarakat, kita tidak bisa
dengan secepat mungkin berkata halal atau haram.
Kita sebaiknya mengikuti dan mengambil pelajaran dari kisah sahabat
Mu’adz r.a. ketika beliau di utus oleh Rasulullah saw ke negeri Yaman.
“Dari sahabat Mu’adz berkata; tatkala Rasulullah SAW
mengutus ke Yaman, Rasulullah bersabda bagaimana engkau menentukan apabila
tampak kepadamu suatu ketentuan?
Mu’adz menjawab; saya akan
menentukan hukum dengan kitab Allah? kemudian nabi bersabda; kalau tidak engkau
jumpai dalam kitab Allah? Mu’adz menjawab; dengan Sunnah Rasulullah s.aw.
kemudian nabi bersabda; kalau tidak engkau jumpai dalam Sunnah Rasulullah dan
dalam kitab Allah? Mu’adz menjawab; saya akan berijtihad dengan pendapat saya
dan saya tidak kembali; Mu’adz berkata: maka Rasulullah memukul dadanya,
kemudian Mu’adz berkata; Alhamdulillah yang telah memberikan taufiq kepada
utusan Rasulullah SAW dengan apa yang Rasulullah meridlai‐Nya.
Langkah yang di ambil dari sahabat Mu’adz r.a. di atas dapat kita
jadikan pedoman dalam mengambil suatu langkah‐langkah hukum agama apabila kita
melihat dan mendapati amalan baru‐baru yang berkembang di
masyarakat.
Adapun langkah‐langkah pertimbangannya dalam menentukan suatu hukum atas
amalan baru adalah sebagai berikut;
1. Kita melihat apakah perbuatan
tersebut ada perintahnya dalam Al‐Qur’an dan As‐Sunnah?
2. Apabila perbuatan tersebut,
tidak ada perintahnya baik dalam Al‐Qur’an maupun As‐Sunnah, kita lihat kembali, apakah
ada larangan terhadap perbuatan tersebut?
3. Kalau perintah terhadap
perbuatan tersebut tidak ada dan juga larangannya, di dalam Al‐Qur’an dan As‐Sunnah tidak ada, kita tinjau
kembali; apakah perbuatan tersebut ada maslahatnya terhadap agama?
4. Kalau ternyata perbuatan
tersebut tidak ada maslahatnya, kita tinjau kembali, apakah perbuatan tersebut
ada madlaratnya (bahayanya) terhadap agama?
Sebagai contoh adalah yang sering kita sebut dengan nama TAHLILAN/YASINAN.
Majelis yang ini sering kita laksanakan/lakukan ketika ada seorang kerabat/keluarga
atau tetangga yang meninggal dunia dengan mengadakan doa bersama untuk orang
meninggal tersebut, yang mana biasanya dilakukan pada malam ke 1,2,3, 5 ataupun
malam ke 7 atau HAUL (yang biasa dilaksanakan setahun sekali)
Pada hakikatnya majelis TAHLIL/YASINAN atau HAUL adalah hanya nama atau
sebutan untuk sebuah acara yang di dalamnya terdapat rangkaian dzikir (membaca
Al‐Qur’an) dan berdoa serta bermunajat bersama. Majelis ini
dapat juga kita simpulkan: Yaitu berkumpulnya sejumlah orang untuk berdoa atau
bermunajat kepada Allah SWT dengan cara membaca kalimat‐kalimat thayyibah seperti tahmid,
takbir, tahlil, tasbih, Asma’ul Husna, shalawat, mengirim doa bagi arwah yang
meninggal dan lain‐lain. Maka sangat jelas bahwa majelis tahlil sama dengan
majelis dzikir lainnya, hanya istilah dan nama atau kemasannya saja yang
berbeda dengan zaman salaf terdahulu namun hakikat serta intinya sama, yakni
Dzikrullah (berdzikir kepada Allah).
Berdoa merupakan perintah Allah. Islam mengajarkan kepada kita untuk
selalu berdoa kepada Allah. Karena doa merupakan inti dari ibadah dan dalam
setiap gerak ibadah yang dilakukan oleh seorang mukmin itu adalah doa.
Tahlil adalah tradisi dari generasi salaf dan pada mulanya dikenalkan
oleh Wali Songo (sembilan pejuang Islam / wali di tanah Jawa) ketika mereka
berhijrah ke Indonesia. Seperti yang telah kita ketahui, di antara yang paling
berjasa menyebarkan ajaran Islam di Indonesia adalah Wali Songo (9 Wali) yang
berasal dari Hadramaut ‐ Yaman. Keberhasilan dakwah Wali Songo ini tidak lepas
dari cara dakwahnya yang mengedepankan metode kultural atau budaya
Wali Songo mengajarkan nilai‐nilai Islam secara luwes dan tidak
secara frontal menentang tradisi Hindu yang telah mengakar kuat di masyarakat,
namun membiarkan tradisi itu berjalan, hanya saja isinya diganti dengan nilai
Islami. Dalam tradisi lama, bila ada orang meninggal, maka sanak famili dan
tetangga berkumpul di rumah duka. Mereka (masyarakat setempat) bukannya
mendoakan mayit tetapi begadang dengan bermain judi atau mabuk‐mabukan. Wali Songo tidak serta
merta membubarkan tradisi tersebut, tetapi masyarakat dibiarkan tetap berkumpul
namun acaranya diganti dengan mendoakan pada mayit. Jadi istilah tahlil seperti
pengertian di atas tidak dikenal sebelum era Wali Songo.
Bila asal mula tradisi Tahlil tersebut dikatakan merupakan adat orang
hindu, maka sebaiknya kita berfikir bagaimana dengan computer, handphone,
mikrofon, dan lainnya yg merupakan adat orang kafir, namun selama hal itu
bermanfaat dan tak melanggar syariah maka boleh boleh saja mengikutinya, sebagaimana
Rasulullah saw meniru adat yahudi yg berpuasa pada hari 10 muharram, bahwa
Rasulullah saw menemukan orang yahudi puasa dihari 10 muharram karena mereka
bersyukur atas selamatnya Musa as, dan Rasulullah saw bersabda : “Kami lebih berhak dari kalian
atas Musa as, lalu beliau saw memerintahkan muslimin agar berpuasa pula” (HR Shahih Bukhari hadits no.3726,
3727)
Membaca Al‐Qur’an / Doa & Mengirim Pahala Doa Tersebut Kepada
Mayit.
Seperti yang telah diutarakan di atas bahwa salah satu bagian dari majelis
Tahlil adalah dengan membaca Al‐Qur’an dan berdoa mengirim /
menghadiahi Pahala bacaan Al‐Qur’an dan doa tersebut kepada
mayit (arwah yang meninggal dunia), apakah bacaan Al‐Qur’an baik surah Al Fatihah
ataukah Surah Yasin dan surah surah lain lainnya.
Firman Allah SWT:
“Maka ketahuilah, bahwa Sesungguhnya tidak ada
Ilah (sesembahan, Tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi
(dosa) orang‐orang mukmin, laki‐laki dan perempuan. dan Allah mengetahui tempat kamu
berusaha dan tempat kamu tinggal.”(QS Muhammad 47: 19)
“Janganlah kamu mengira bahwa orang‐orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka
itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezki” (QS. Al Imran : 169)
Maksud hidup dari ayat di atas
adalah hidup dalam alam yang lain yang bukan alam kita ini, di mana mereka
mendapat kenikmatan‐kenikmatan di sisi Allah, dan hanya Allah sajalah yang
mengetahui bagaimana keadaan hidup itu.
“dan orang‐orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor),
mereka berdoa: ʺYa Rabb Kami, beri ampunlah Kami dan saudara‐saudara Kami yang telah beriman lebih dulu dari Kami, dan
janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati Kami terhadap orang‐orang yang beriman; Ya Rabb Kami, Sesungguhnya Engkau
Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.ʺ (QS
Al‐Hasyr 59: 10)
Hadist Hadist Rasulullah SAW yang mendukung bolehnya
mengirim pahala bagi mayit
Pengiriman hadiah pahala bagi
mayit ini sunnah secara syariat sebagaimana Rasulullah saw. mencontohkan dan
membolehkannya, ketika salah seorang yang menemui Rasulullah SAW dan bertanya
tentang suatu hal sebagaimana teriwayat dalam hadist berikut:
• Dari Aisyah ra bahwa sungguh telah
datang seorang lelaki pada nabi saw seraya berkata: “Wahai Rasulullah, sungguh
ibuku telah meninggal mendadak sebelum berwasiat, kukira bila ia sempat bicara
mestilah ia akan bersedekah, bolehkah aku bersedekah atas namanya?”, Rasul saw
menjawab : “Boleh” (Shahih Muslim hadits no.1004).
• Seorang laki‐laki bertanya kepada Rasulullah
SAW, “Ayahku meninggal dunia, dan ia meninggalkan harta serta tidak memberi
wasiat. Apakah dapat menghapus dosanya bila saya sedekahkan?” Ujar Nabi SAW,
“Dapat!” [HR. Ahmad, Muslim dari Abu Hurairah]
Memang hadist di atas adalah
berhubungan dengan sedeqah jariyah bagi si mayit namun jelas sekali kejadian di
atas adalah ketika orang tua dari sang lelaki itu telah meninggal, bukan ketika
orang tua masih hidup pada saat sang anak menyedekahkan harta sang Ibu dan
pahalanya bagi orang tua mereka.
Jadi jelaslah bahwa sang anak mensedeqahkan harta dari orang tuanya dan
mengirim/ menghadiahkan pahala sedeqah tersebut bagi orang tuanya yang telah
meninggal dunia.
Banyak hadist hadist dari
Rasulullah saw. dan riwayat sahabat r.a. yang nyata dan kuat membolehkan
mengirim pahala bagi mayit khususnya lewat bacaan Al‐Qur’an,
doa dan sedeqah adalah dari hadist‐hadist berikut ini :
• Abu Muhammad As Samarkandy, Ar
Rafi’iy dan Ad Darquthniy, masing‐masing menunjuk sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Ali bin Abi Thalib k.w. bahwa Rasul saw bersabda:
“Barangsiapa lewat melalui kuburan, kemudian ia membaca “Qul Huwallahu Ahad”
sebelas kali dengan niat menghadiahkan pahalanya pada para penghuni kubur, ia
sendiri akan memperoleh sebanyak yang diperoleh semua penghuni kubur”.
• Abu Hurairah ra meriwayatkan
bahwasanya Nabi Muhammad saw bersabda: “Barangsiapa yang berziarah di kuburan,
kemudian ia membaca ‘Al Fatihah’, ‘Qul Huwallahu Ahad’ dan ‘Alhakumut
takatsur’, lalu ia berdoa Ya Allah, kuhadiahkan pahala pembacaan firmanMu pada
kaum Mu’minin dan Mu’minat penghuni kubur ini, maka mereka akan menjadi
penolong baginya(pemberi syafaat) pada hari kiamat”.
• “Dengan nama Allah ! Ya Allah
terimalah kurbanku dari Muhammad, dari keluarga Muhammad, dari umat Muhammad”.
(HR.Muslim, lihat Shahih Muslim XIII, hal.122). Hadits ini menjelaskan bahwa
Nabi berkurban yang pahalanya untuk beliau, dan sebagian diberikan untuk
keluarga beliau, dan sebagian diberikan untuk umat Beliau SAW.
• Diriwayatkan oleh Daruquthni bahwa
seorang laki‐laki bertanya, “Ya Rasulullah SAW, saya mempunyai ibu
bapak yang selagi mereka hidup, saya berbakti kepadanya. Maka bagaimana caranya
saya berbakti kepada mereka, setelah mereka meninggal dunia?” Ujar Nabi SAW,
“Berbakti setelah mereka meninggal, caranya ialah dengan melakukan shalat untuk
mereka disamping shalatmu, dan berpuasa untuk mereka disamping puasamu!”
• Seorang sahabat bertanya kepada
Rasulullah saw, seraya berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami bersedekah
untuk keluarga kami yang sudah mati, kami melakukan haji untuk mereka dan kami
berdoa bagi mereka; apakah hal tersebut pahalanya dapat sampai kepada mereka?
Rasulullah saw bersabda: Ya! Sungguh pahala dari ibadah itu benar‐benar akan sampai kepada mereka
dan sesungguhnya mereka itu benar‐benar bergembira dengan kiriman
pahala tersebut, sebagaimana salah seorang dari kamu sekalian bergembira dengan
hadiah apabila hadiah tersebut dikirimkan kepadanya!ʺ
• “Diriwayatkan dari ‘Auf bin Malik,
ia berkata; Nabi SAW telah menunaikan shalat jenazah, aku mendengar Nabi SAW
berdoa; Ya Allah!! ampunilah dia, rahmatilah dia, maafkan dia.”
• Abdul Aziz menuturkan hadis dari
Anas ibn Malik r.a. Disebutkan bahwa Rasulullah SAW telah bersabda,
“Barangsiapa yang memasuki kuburan, lalu ia membaca Surah Yasin, Allah akan
memberikan keringanan kepada mereka, sedangkan dia akan memperoleh kebaikan
sejumlah penghuni kubur yang ada disana.”
• Dalam riwayat lainnya dari Anas
bin Malik r.a. bahwa Rasulullah saw bersabda: ”Apabila seorang mukmin membaca
ayat Kursi dan menghadiahkan pahalanya kepada para penghuni kubur, maka Allah
akan memasukkan empat puluh cahaya ke setiap kubur orang mukmin mulai dari
ujung dunia bagian timur sampai barat, Allah akan melapangkan liang kubur
mereka, memberi pahala enam puluh orang nabi kepada yang membaca, mengangkat
satu derajat bagi setiap mayit, dan menuliskan sepuluh kebajikan bagi setiap
mayit.”
• Dari dalam Musnad Imam Ahmad bin
Hanbal, oleh Abu Dawud, An‐Nasai dan di benarkan oleh Ibnu
Hibban bahwa Rasulullah saw pernah bersabda:”Bacalah Yasin bagi orang‐orang yang telah wafat di antara
kalian”.
• Al‐Baihaqiy di dalam Sya’bul‐Iman mengetengahkan sebuah hadist
yang diriwayatkan oleh Mi’qal bin Yassar r.a., dan dalam Al‐Jami’ush‐Shaghir dan Misykatul‐Mashabih bahwa Rasulullah saw
bersabda: “Barang siapa membaca Yasin semata‐mata demi keridhoan Allah, ia
memperoleh ampunan atas dosa‐dosanya yang telah lalu. Karena
itu hendaknya kalian membacakan Yasin bagi orang – orang yang telah meninggal
dunia di antara kalian.”
• Diriwayatkan pula bahwa Siti
Aisyah pernah beritikaf atas nama adiknya Abdurrahman bin Abu Bakar yang telah
meninggal dunia. Bahkan Siti Aisyah juga memerdekakan budak atas namanya
(adiknya). (Al Imam Qurthubi di dalam kitab At‐Tadzkirat Bi Ahwali al‐Mauta wa Umur al‐Akhirat.
Hadits‐hadits di atas dijadikan dalil oleh para ulama salaf dan
kalaf untuk menfatwakan kebolehan mengirim / menghadiahkan pahala baik sedeqah,
bacaan Al Qur’an dan mendoakan bagi mayit.
Imam Muhibbuddin Ath‐Thabari berkata:”Arti mayit adalah
seseorang yang telah di cabut nyawanya adapun yang menyatakan arti mayit adalah
orang yang sekarat, pendapat ini tidak berdalil.”
Mengenai hadist membacakan Yasin, Imam Ahmad menyatakan dalam musnadnya:
“Dari Abu Mughirah berkata: “Sofyan yaitu Ibnu Amru berkata kepadaku: “Para
guru besar bercerita kepadaku: “Bahwa mereka pernah mendatangi Adhif bin Harits
Ats‐Tsimali saat beliau sedang sekarat, lalu beliau berkata:
“Apakah di antara kalian ada yang mau membaca Yasin?,” kemudian Saleh bin
Syuraih As‐Sukuni mulai membacanya sampai berulang kali, ketika
mencapai pada hitungan keempat puluh Adhif meninggal dunia, mereka para guru
besar berkata; “Jika surat Yasin dibacakan pada orang yang sekarat ia akan diringankan
bebannya. (disebutkan dalam kitab Fathur Rabbani 18/253).” Adhif ini ada yang
menyatakan ia seorang sahabat, ada yang menyatakan ia seorang tabi’in tetapi
yang benar adalah pendapat pertama, selain itu juga dinyatakan dalam kitab Al‐Isabah: “Hadist dengan sanad yang
hasan.”)
Ibnu Hibban meriwayatkan dalam shahinya dari Jundub bin Abdillah ra.
berkata: “Rasulullah saw bersabda: “Surat Al‐Baqarah adalah puncak tertinggi Al‐Qur’an, setiap ayat yang
diturunkan disertai oleh delapan puluh malaikat, sedangkan ayat kursi
dikeluarkan dari perbendaharaan Arasy dan digabung dengannya, sedangkan surat
Yasin adalah inti Al‐Qur’an tidaklah seseorang membacanya hanya karena Allah
dan akhirat melainkan ia diampuni dan bacalah Yasin untuk orang‐orang yang telah meninggal
diantara kalian.” (HR. Ibnu Hibban, HR. Ahmad dalam musnadnya V/26)
Penulis Musnad Firdaus menyebutkan hadist sanadnya kepada Abu Darda ra.
:”setiap mayit yang dibacakan surat Yasin untuknya, maka Allah akan meringankan
bebannya.” (Musnad Firdaus IV/32)
Mengenai hadist, “Bacakanlah Surah
Yasin untuk orang yang meninggal dunia.” Al Imam Qurthubi mengatakan bahwa hal
ini mencakup bacaan ketika orang akan mati dan juga bacaan di kuburannya.
Beberapa keutamaan Surat Yasin
• Dari Ma’qil bin Yasar r.a. bahwa
Rasulullah saw bersabda: “Surat Al‐Baqarah adalah puncak tertinggi Al‐Qur’an, setiap ayat yang
diturunkan disertai oleh delapan puluh malaikat, sedangkan ayat kursi
dikeluarkan dari perbendaharaan Arasy dan digabung dengannya atau bergabung
dengan surat Al‐Baqarah, sedangkan surat Yasin adalah inti Al‐Qur’an tidaklah seseorang
membacanya hanya karena menginginkan ridha Allah dan akhirat melainkan ia
diampuni dan bacalah Yasin untuk orang‐orang yang telah meninggal
diantara kalian.” (HR. Ahmad V/661)
• Dari Anas ra. berkata :
“Rasulullah saw bersabda : “Sesungguhnya segala sesuatu memiliki inti dan inti
Al‐Qur’an adalah Yasin, barangsiapa yang membaca surat
Yasin, maka Allah menuliskan baginya (karena membacanya) pahala membaca Al‐Qur’an sebanyak sepuluh kali.”
(HR. Tirmidzi V/149‐150)
• Dari Jundub ra. berkata :
“Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa yang membaca surat Yasin pada suatu
malam hanya karena Allah, maka ia akan diampuni.” (HR. Ibnu Hibban No. 2565)
• Dari Ma’qil bin Yasar r.a. bahwa Rasulullah
saw bersabda: “Bacakanlah Yasin untuk orang yang meninggal diantara kalian.”
(HR Abu Dawud III/489, Ibnu Majah I/466, HR. Hakim I/753)
Pandangan Tentang menancapkan pelepah batang Kurma ke kuburan (menabur
bunga). Al‐Imam Qurthubi mengatakan pula bahwa sebagian ulama kita
mendasarkan pendapat mengenai “Bacaan Alquran di kuburan itu mempunyai manfaat”
pada hadist Rasulullah SAW mengenai pelepah kurma yang dibelah oleh beliau SAW
dan ditancapkan kepada dua kuburan seraya bersabda Nabi saw, “Semoga pelepah ini akan meringankan penghuni kedua
kuburan tersebut selama ia belum kering.”
Berkenaan dengan hadist tersebut, Al Khuthabi mengatakan, “Yang demikian
itu menurut para ulama, karena segala sesuatu (selama masih tetap hijau / belum
mengering) dan masih utuh bertasbih hingga ia mengering, berubah warnanya atau
pudar.’
Sedangkan ulama lainnya berkata,
“Jika tasbih yang dilakukan kedua pelepah kurma itu saja dapat meringankan
penghuni kuburan yang disebutkan dalam hadist tersebut, lantas bagaimana dengan
bacaan Alquran yang dilakukan oleh orang Mukmin?“
Ada kritikan yang dilemparkan oleh kelompok salafi (pembaharu Islam)
terkait meletakkan pelepah kurma oleh Rasulullah saw, mereka berkata: “Bahwa
Nabi saw tidak melakukannya pada setiap kuburan justru Beliau saw melakukannya
sekali saja, maka hal ini menunjukkan kekhususan untuk kedua kubur itu saja dan
bukan berarti disyariatkan.”
Untuk menjawab kritikan mereka itu kami berpendapat bahwa sesungguhnya
para ulama Jumhur menyatakan suatu perkara tidak dinyatakan menjadi suatu
kekhususan kecuali ada dalilnya, sedangkan hal ini tidak ada dalil yang
mengkhususkannya. Begitu juga tiada riwayat yang menyebutkan kalau Nabi SAW
shalat di setiap kuburan yang jenazahnya belum Beliau (saw) sholati, meski demikian
para ulama jumhur menyatakan bahwa shalat jenazah tetap sah dilakukan bagi
orang yang belum mensholatinya meskipun setelah mayit dikubur, masalah ini
termasuk pembahasan ushul dan telah dinyatakan shahih oleh orang‐orang yang tsiqah (dapat
dipercaya) bahwa peristiwa ini terjadi beberapa kali dan bukan dialami sekali
saja oleh Nabi Saw jadi kritikan mereka tidak ada dasarnya dan mereka hanya
mengkritik dengan menggunakan hawa nafsu saja karena kelamahan pemahaman
mereka.
Dari kritikan diatas apakah memang Rasulullah saw tidak melakukkannya
pada setiap kuburan? dalam ulasan di bawah ini kita akan temukan apakah benar
tuduhan mereka itu (bahwa Rasulullah saw hanya melakukannya 1 kali saja).
• Di dalam HR. Muslim jilid I/166
disebutkan dalam sebuah riwayat shahihain dari Ibnu Abbas r.a. bahwa beliau saw
pernah meliwati dua kubur lalu beliau saw bersabda: “sesungguhanya keduanya
sedang disiksa, bukan karena dosa besar yang telah di lakukannya, salah satu
dari keduanya suka mengadu domba dan yang satu lagi tidak bersih saat dia
selesai kencing,” lalu beliau saw mengambil satu batang pohon kurma yang masih
basah dan beliau saw mematahkannya lalu menancapkan di masing‐masing kubur satu batang lalu
beliau saw bersabda: “Semoga keduanya mendapat keringanan selama kedua batang
ini belum kering.”
• Di dalam HR. Muslim jilid VIII/235
disebutkan dalam sebuah riwayat dengan lafadz yang berbeda dalam riwayat Muslim
dari Jabir r.a.: Bahwa Nabi saw bertanya: “Wahai Jabir apakah engkau telah
melihat tempatku?” Aku menjawab: “Ya, wahai Rasulullah,” lalu Beliau saw
bersabda: “Carilah dua buah pohon dan potonglah dari masing‐masing pohon sebuah dahan lalu
bawalah kemari” maka Jabir datang dengan membawa kedua dahan pohon itu.
Kemudian Beliau saw bersabda: “Sesungguhnya aku telah melewati dua kuburan yang
sedang disiksa penghuninya, aku ingin dengan syafaatku agar keduanya
diringankan selama kedua dahan ini masih basah.”
• Didalam musannaf Ibnu Abi Syaibah
III/55 : Bahwa Ibnu Abi Syaibah juga meriwayatkan dari Abu Bakrah dengan
lafadz: “Aku pernah berjalan bersama Nabi saw lalu beliau saw melewati dua
kuburan seraya bersabda: “Sesungguhnya keduanya sedang disiksa, siapakah yang
akan membawakan sebuah dahan untukku?” lalu aku berlomba dengan seorang lelaki
dan kami membawa dahan itu kemudian beliau sawmembelahnya menjadi dua dan
menancapkan di masing‐masing kuburan satu dahan lalu beliau bersabda: “ Semoga
saja keduanya mendapat keringanan selama kedua dahan ini masih basah, kedua
orang ini disiksa karena suka membicarakan orang lain dan kurang bersih dalam
hal kencing”.
Di dalam kitab Syarh ash‐Shuduur bi Syarh Haal al‐Mawtaa wa al‐Qubuur Karya Imam Jalaludin As‐Suyuthi, beliau menukil bahwa Amr
ibn Jarir r.a berkata “jika seorang hamba berdoa untuk saudaranya yang meninggal
dunia, dengan doa itu akan datang malaikat ke kuburnya seraya mengatakan,
“Wahai penghuni kubur ini, inilah hadiah dari saudaramu yang menaruh kasihan
terhadapmu.”
Masih dalam kitab yang sama Al Imam Suyuthi berkata: “Pendapat terbanyak
dari para ulama meyakini sampainya pahala itu berdasarkan persamaan dengan doa,
sedekah, puasa, haji dan membebaskan budak, dan berpedoman pada hadist‐hadist yang akan disebutkan
(Tertera dalam syarah Shudur dari riwayat Al‐Khilal dan lainnya), beliau
berkata: “Meskipun hadist‐hadist ini dha’if tetapi seluruhnya menunjukkan bahwa hal
ini ada dasarnya, selain itu ummat Islam masih terus sepanjang masa berkumpul
membacakan Al‐Qur’an untuk orang‐orang yang telah meninggal dunia
tanpa diingkari lagi, maka hal ini adalah ijma’.” (Syarah Shudur, Suyuthi 310‐311).
Dalam kitab Al‐Awsath, Imam ath‐Thabrani meriwayatkan hadis dari
Anas ibn Malik r.a.: Dituturkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Umatku adalah umat yang disayang. Mereka masuk ke kubur
mereka dengan penuh dosa dan keluar darinya dalam keadaan bersih dari dosa.
Yang demikian itu karena istighfar orang ‐
orang Mukmin.”
Sebagai tambahan dapat kita lihat
bagaimana para Huffadh dan para Imam‐Imam salafus shalih mengirim
hadiah doa dan pahala untuk Rasulullah saw.
1. Berkata Imam Alhafidh Al Muhaddits Ali bin Almuwaffiq
rahimahullah: “aku 60 kali melaksanakan haji dengan berjalan kaki, dan
kuhadiahkan pahala dari itu 30 haji untuk Rasulullah saw”.
2. Berkata Al Imam Alhafidh Al Muhaddits Abul Abbas
Muhammad bin Ishaq Atssaqafiy Assiraaj : “aku mengikuti Ali bin Almuwaffiq, aku
lakukan 7X haji yg pahalanya untuk Rasulullah saw dan aku menyembelih Qurban
12.000 ekor untuk Rasulullah saw, dan aku khatamkan 12.000 kali khatam Alqur’an
untuk Rasulullah saw, dan kujadikan seluruh amalku untuk Rasulullah saw, beliau
ini adalah murid dari Imam Bukhari rahimahullah, dan ia memiliki 70 ribu
masalah yg dijawab oleh Imam Malik, beliau lahir pada 218 H dan wafat pada
313H.
3. Berkata Al Imam Al Hafidh Abu Ishaq Almuzakkiy, aku
mengikuti Abul Abbas dan aku haji pula 7X untuk rasulullah saw, dan aku
mengkhatamkan Alqur’an 700 kali khatam untuk Rasulullah saw. (Tarikh Baghdad
Juz 12 hal 111).
Berikut penjelasan lebih detail dari Syekh Ibnu Taimiyah
dalam masalah ini.
Syekh Taqiyuddin Abul Abbas Ahmad bin Taimiyah berkata: “Barangsiapa
yang meyakini bahwa seseorang tidak bisa mendapat manfaat kecuali hanya dari
amalannya saja berarti ia telah menentang ijma’ dan pendapatnya dianggap batil
dari banyak hal di antaranya:
• Sesungguhnya seseorang bisa
mendapat manfaat dari doa orang lain dan hal ini berarti bisa mendapat manfaat
dari amalan orang lain.
• Nabi saw akan memberi syafa’at
kepada penduduk Mahsyar saat perhitungan kemudian memberi syafa’at kepada
penduduk surga untuk masuk surga, kemudian kepada orang‐orang yang berdosa untuk keluar
dari neraka hal ini termasuk jenis mendapat manfaat dari amalan orang lain.
• Setiap Nabi dan orang saleh berhak
mendapat syafa’at dan hal ini termasuk mendapat manfaat dari amalan orang lain.
• Para malaikat mendoakan dan
memintakan ampunan bagi penduduk bumi hal ini juga termasuk manfaat dari amalan
orang lain.
• Anak‐anak orang beriman akan masuk
surga berkat kebajikan orang tua mereka, hal ini sudah jelas murni mendapat
manfaat dari amalan orang lain.
• Allah berfirman tentang cerita dua
pemuda yang yatim:
“ Dan kedua orang tua mereka adalah orang saleh”(Qs. Al‐Kahfi :82)
Kedua anak itu mendapat manfaat
berkat kesalehan orang tua dan hal ini bukan dari upaya mereka.
• Seorang mayit mendaoat manfaat
sedekah atas dirinya dan pembebasan budak berdasarkan nash sunnah dan ijma’,
hal ini adalah manfaat dari amalan orang lain.
• Nabi saw pernah menolak mensholati
orang mati yang memiliki hutang sampai Abu Qatadah melunasinay dan begitu juga
Ali bin Abi Thalib melunasi hutang orang lain lalu orang itu mendapat manfaat
dari shalatnya Nabi saw hingga ia merasakan kenikmatan dalam kuburnya karena
hutangnya sudah terlunas, hal ini termasuk mendapat manfaat dari amalan orang
lain.
• Menshalati jenazah dan
mendoakannya dalam shalat merupakan contoh manfaat bagi mayit dari shalatnya
orang yang masih hidup, padahal itu adalah amalan orang lain.
• Allah SWT berfirman kepada Nabi
saw:
“Dan Allah sekali‐kali tidak akan mengazab mereka, sedang kamu berada di
antara mereka dan tidaklah (pula) Allah akan mengazab mereka, sedang mereka
meminta ampun” (Qs. Al‐Anfal : 33)
“perempuan yang mukmin yang
tiada kamu ketahui” (Qs.
Al‐Fath : 25)
“. seandainya Allah tidak menolak (keganasan)
sebahagian umat manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. (Qs. Al‐Baqarah 251)
Dari Firman Allah di atas, diterangkan bahwa Allah mengangkat adzab dari
sebagian orang karena sebagiannya lagi, hal ini termasuk mendapat manfaat dari
amalan orang lain.
Nash dari Madzhab para Ulama Dalam Masalah ini
A. Pandangan dari Madzhab Hanafi
• Imam Al‐Allamah Al‐marghinani menyebutkan dipermulaan
bab haji untuk orang lain dalam kitab Hidayah: “Inti dalam bab ini adalah
setiap orang bisa menjadikan pahala amalannya untuk orang lain, baik itu berupa
shalat atau puasa atau sedekah dan lain sebagainya menurut pendapat Ahlul
Sunnah Waljama’ah karena telah diriwayatkan dari Nabi saw bahwa beliau saw
menyembelih binatang qurban dua ekor kambing yang gemuk yang satu untuk diri beliau
saw dan yang satu lagi untuk siapapun dari ummatnya yang mengakui keesan Allah
dan
kerasulan beliau saw (Al Hidayah,
Syarah Bidayatul Mubtadi, Syekh Abul Hasan Ali bin Abu Bakar Al‐Maghinani, I/183).
• Al‐Allamah Utsman bin Ali Az‐Zaila’i Al‐Hanafi menyebutkan dalam kitab
syarah Kanzu Daqaiq pada bab haji untuk orang lain juga yang sebenarnya menurut
pendapat Ahlu Sunnah Waljama’ah dalam hal ini seseorang boleh menghadiahkan
pahala amal perbuatannya pada orang lain baik itu berupa shalat atau puasa atau
haji atau sedekah atau bacaan Al‐Qur’an atau dzikir dan amal
kebajikan lainnya dan amalan itu akan sampai kepada si mayit dan bermanfaat
baginya. (Tabyinul Haqaiq, Zaila’I II/83)
• Al Muhaqiq Al Kamal Ibnul Imam
dalam kitab Fathul Qadir, beliau menyebutkan yang ringkasannya bahwa mu’tazilah
bertentangan dalam setiap ibadah, maksudnya mereka mengingkari sampainya pahala
amalan saleh yang diperuntukkan orang lain dan beliau menyebutkan kebobrokan
mereka dan memberikan jawaban sangkalan atas mereka, selain itu juga beliau
menyebutkan berbagai atsar yang mencapai batas mutawatir yang mana inti dari
atsar itu menyebutkan : “Barangsiapa yang menghadiahkan pahala amal salehnya
bagi orang lain, maka Allah akan memberinya manfaat pahala itu”.
B. Pandangan dari Madzhab Maliki
• Imam Qadhi Abul fadli Iyadh
menyebutkan dalam Syarah Shahih Muslim tentang Hadist Jaridatain (dua batang
pohon kurma) pada sabda Rasulullah saw: “Semoga saja diringankan siksanya
selama kedua (batang ini) masih basah.”
Beliau menyatakan : “Berdasarkan
hadist ini para ulama mensunnahkan pembacaan Al‐Qur’an bagi mayit sebab jika ia bisa
mendapat keringanan karena bacaan tasbi kedua batang pohon yang merupakan benda
mati maka sudah sepantasnya bacaan Al‐Qur’an lebih utama.” (Syarah
Syeikh Muhammad bin Khalifah Al Abbi Ala Shahih Muslim II/125)
• Al‐Allamah Syihab Al‐Qirafi menyebutkan dalam kitab Al‐Firqu Tsani Wasab’in Walmi’ah yang
rngkasannya: “Madzhab Abu Hanifah dan Ahmad bin Hambal menyatakan bahwa mayit
memperoleh pahala bacaan Al‐Qur’an dan jika dibacakan
dikuburan mayit juga mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mendengarkan.
Begitu juga Tahlil yang sudah tersebar luas di kalangan masyarakat saat ini
sudah sepantasnya untuk dilakukan sebagai wujud harapan karunia Allah dengan
cara apapun dan sudah pasti Allah SWT akan memberikan karunia‐Nya yang layak bagi hamba‐Nya (Al‐Faruq, Imam Ahmad bin Idris Al‐Qirafi III/192)
• Dalam kitab Nawazil, Ibnu Rusyd
pernah ditanya tentang firman Allah:
“Dan bahwasanya
seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”. (An‐Najm:39).
Beliau menjawab : “Jika seseorang
membaca Al‐Qur’an lalu menghadiahkan pahala bacaannya kepada mayit
hal itu diperbolehkan dan si mayit memperoleh pahalanya.”
C. Pandangan dari Madzhab Syafi’i
• Imam Nawawi dalam “Syarhul
Muhadzdzib” mengatakan: “disunnahkan bagi orang yang berziarah ke kekuburan
membaca beberapa ayat Al Qur’an dan berdoa untuk penghuni kubur, sebaiknya
bacaan salam dan doa diambil seperti yang tertera dalam riwayat hadist, juga
disunnahkan baginya untuk membaca Al‐Qur’an semampunya dan berdoa untuk
mereka setelahnya, hal ini disebutkan oleh Imam Syafi’I dan disepakati oleh
para sahabat Syafi’I (Majmu’ Syarah Muhadzab V/286)”.
D. Pandangan dari Madzhab Hambali
• Imam Muwafiquddin Abu Muhammad
Abdullah bin Qudamah Al‐Hambali berkata: “Setiap perbuatan kebajikan yang
dilakukan oleh seseorang lalu pahalanya dikirim kepada mayit muslim Insya Allah
akan bermanfaat bagi si mayit, adapun doa, istighfar, sedekah dan melakukan hal‐hal yang wajib aku tidak pernah
mengetahui adanya perbedaan pendapat dalam masalah ini jika perkara yang wajib
ini termasuk perkara yang bisa diwakilkan, Allah SWT berfirman :
“dan orang‐orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor),
mereka berdoa: ʺYa Rabb Kami, beri ampunlah Kami dan saudara‐saudara Kami yang telah beriman lebih dulu dari Kami (QS. Al‐Hasyr :10)
Dan Allah berfirman :
“dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi
(dosa) orang‐orang mukmin, laki‐laki dan perempuan.” (QS. Muhammad : 19)
Nabi Saw pernah mendoakan Abu Salamah ra. saat ia meninggal dunia,
begitu juga mayit yang pernah beliau saw shalati dalam riwayat hadist Auf bin
Malik r.a dan setiap mayit yang telah beliau shalati.
Adapun seorang lelaki bertanya kepada Nabi saw; “Wahai Rasulullah,
sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia apakah akan bermanfaat baginya jika
aku bersedekah atasnya?” Beliau saw menjawab : “Ya”.
Pandangan dari Ulama Lainnya
Berkata imam qurtubi : “telah ijma’ ulama atas sampainya pahala sedekah untuk orang
yang sudah mati, maka seperti itu pula pendapat ulama dalam hal bacaan al‐qur’an, doa dan istighfar karena
masing‐masingnya termasuk sedekah dan dikuatkan hal ini oleh
hadits : “Kullu ma’rufin shadaqah / (setiapkebaikan adalah sedekah)”.
(Tadzkirah al‐qurtubi halaman 26).
Berkata Muhammad bin ahmad al‐marwazi
:
“Saya mendengar Imam Ahmad bin
Hanbal berkata : “Jika kamu masuk ke pekuburan, maka bacalah Fatihatul kitab,
al‐ikhlas, al
falaq dan an‐nas dan jadikanlah pahalanya untuk para penghuni kubur,
maka sesungguhnya pahala itu sampai kepada mereka.
Tapi yang lebih baik adalah supayaa berdoa sesudah membaca dengan doa: “Ya Allah,
sampaikanlah pahala ayat yang telah aku baca ini kepada si fulan” (Hujjatu
Ahlis sunnah waljamaah hal. 15)
Berkata Syaikh ali ma’sum :
“Dalam madzab maliki tidak ada
khilaf dalam hal sampainya pahala sedekah kepada mayyit. Menurut dasar madzab,
hukumnya makruh. Namun ulama‐ulama mutakhirin berpendapat boleh
dan dialah yang diamalkan. Dengan demikian, maka pahala bacaan tersebut sampai
kepada mayyit dan ibnu farhun menukil bah
wa pendapat inilah yang kuat”.
(hujjatu ahlisunnah wal jamaah halaman 13).